Oleh : al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu 'imran
Siapakah yang menyangka saat itu, keharuman pribadinya kelak akan merebak
di sepanjang sejarah Islam di setiap dada kaum muslimin? Siapakah yang
menyangka, bahwa wanita yang mulia ini akan mendapatkan sebuah keutamaan besar
yang telah ditetapkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala baginya? Siapakah yang menyangka, wanita ini akan mendampingi
manusia yang paling mulia dalam rentang awal perjalanan dakwahnya? Siapakah
yang menyangka saat itu…?
Muslimin
manakah yang tak pernah mendengar sebutan namanya? Khadijah bintu Khuwailid bin
Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay Al-Qurasyiyah Al-Asadiyah radhiyallahu
‘Anha yang tercatat sebagai istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam sekaligus wanita pertama yang membenarkan pengangkatan Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam sebagai nabi dan beriman kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebelumnya dia
dikenal sebagai seorang wanita yang menjaga kehormatan dirinya sehingga
melekatlah sebutan ath-Thaahirah pada dirinya. Dia seorang janda dari suaminya
yang terdahulu, Abu Halah bin Zararah bin An-Nabbasy bin ‘Adi At-Tamimi,
kemudian menikah dengan ‘Atiq bin ‘A`idz bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum.
Saat dia kembali menjanda, seluruh pemuka Quraisy mengangankan agar dapat
menyuntingnya. Sebagaimana umumnya Quraisy yang hidup sebagai pedagang,
Khadijah radhiyallahu ‘Anha adalah wanita pedagang yang mulia dan banyak
harta. Tiada yang mengira, ternyata pekerjaannya itu akan mengantarkan
pertemuannya dengan manusia paling mulia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Ia memberikan
tawaran kepada seorang pemuda bernama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk membawa hartanya ke Syam, disertai budaknya yang bernama Maisarah.
Perdagangan yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam itu
memberikan keuntungan yang berlipat. Tak hanya itu, Maisarah pun membawa buah
tutur yang mengesankan tentang diri Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Penuturan Maisarah membekas dalam hati Khadijah radhiyallahu ‘Anha. Dia
pun terkesan pada kejujuran, amanah, dan kebaikan akhlak Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam.
Tersimpan keinginan yang kuat dalam dirinya untuk
memperoleh kebaikan itu, hingga diutuslah seseorang untuk menjumpai beliau dan
menyampaikan hasratnya. Dia tawarkan dirinya untuk dipersunting Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam, seorang pemuda yang saat itu berusia dua puluh lima
tahun. Gayung pun bersambut. Namun, ayah Khadijah enggan untuk menikahkannya.
Khadijah, wanita yang cerdas itu tak tinggal diam. Ia tak ingin terluput dari kebaikan
yang telah bergayut dalam angannya. Dibuatnya makanan dan minuman, diundangnya
ayah beserta teman-temannya dari kalangan Quraisy. Mereka pun makan dan minum
hingga mabuk. Saat itulah Khadijah mengemukakan kepada ayahnya, “Sesungguhnya
Muhammad bin ‘Abdillah telah mengkhitbahku, maka nikah-kanlah aku dengannya.”
Dinikahkanlah Khadijah dengan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan
segera Khadijah memakaikan wewangian dan perhiasan pada diri ayahnya,
sebagaimana kebiasaan mereka pada saat itu. Tatkala sadar dari mabuknya, ayah
Khadijah mendapati dirinya mengenakan wewangian dan perhiasan. Ia bertanya
keheranan, “Mengapa aku? Apa ini?” Khadijah berkata kepada ayahnya, “Engkau telah
menikahkanku dengan Muhammad bin ‘Abdillah.” Ayahnya pun berang, “Apakah aku
akan menikahkanmu dengan anak yatim Abu Thalib? Tidak, demi umurku!” Khadijah
menjawab, “Apakah engkau tidak malu, engkau ingin menampakkan kebodohanmu di
hadapan orang-orang Quraisy dengan menyatakan kepada mereka bahwa engkau saat
itu menikahkanku dalam keadaan mabuk?” Tak henti-henti Khadi-jah berucap
demikian hingga ayahnya ridha.
Wanita mulia itu, Khadijah radhiyallahu ‘Anha, mendapati kembali belahan jiwanya dalam usia empat puluh tahun. Tergurat peristiwa ini dalam sejarah lima belas tahun sebelum Muhammad Shallallahu '’alaihi wasallam diangkat sebagai nabi. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan Khadijah radhiyallahu ‘Anha mendampingi seorang nabi. Awal mula wahyu turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berupa mimpi yang baik yang datang dengan jelas seperti munculnya cahaya subuh. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam gemar menyendiri di Gua Hira’, ber-tahannuts (beribadah) beberapa malam di sana. Lalu biasanya beliau kembali sejenak kepada keluarganya untuk menyiapkan bekal. Demikian terus berlangsung, hingga datang al-haq, dibawa oleh seorang malaikat.
Peristiwa ini sangat mengguncang hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bergegas beliau kembali menemui Khadijah radhiyallahu ‘Anha dalam keadaan takut dan berkata, “Selimuti aku, selimuti aku!” Diselimutilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga beliau merasa tenang dan hilang rasa takutnya. Kemudian mulailah beliau mengisahkan apa yang terjadi pada dirinya. Beliau mengatakan kepada Khadijah, “Aku khawatir terjadi sesuatu pada diriku.”
Mengalirlah
tutur kata penuh kebaikan dari lisan Khadijah radhiyallahu ‘Anha,
membiaskan ketenangan dalam dada suaminya, “Tidak, demi Allah. Allah tidak akan
merendahkanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau adalah seorang yang suka
menyambung kekerabatan, menanggung beban orang yang kesusahan, memberi harta
pada orang yang tidak memiliki, menjamu tamu, dan membantu orang yang membela
kebenaran.” Lalu Khadijah radhiyallahu ‘Anha membawa suaminya menemui
Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza, anak paman Khadijah radhiyallahu
‘Anha, seorang yang beragama Nashrani pada masa itu dan telah menulis
Al-Kitab dalam bahasa Ibrani. Dia adalah seorang laki-laki yang lanjut usia dan
telah buta. Khadijah radhiyallahu ‘Anha berkata padanya, “Wahai anak
pamanku, dengarkanlah penuturan anak saudaramu ini.” Waraqah pun bertanya,
“Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam menuturkan pada Waraqah apa yang beliau lihat. Setelah
itu, Waraqah mengatakan, “Itu adalah Namus (yakni Malaikat Jibril ‘Alaihis
Salam) yang Allah turunkan kepada Musa. Aduhai kiranya aku masih muda pada saat
itu! Aduhai kiranya aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu!” Mendengar itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah mereka akan
mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya. Tidak ada seorang pun yang membawa seperti
yang engkau bawa kecuali pasti dimusuhi. Kalau aku menemui masa itu,
sungguh-sungguh aku akan menolongmu.” Namun tak lama kemudian, Waraqah
meninggal.
Inilah kiprah pertama Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu
‘Anha semenjak masa nubuwwah. Dia pulalah orang pertama yang shalat bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘Anhu. Terus mengalir dukungan dan pertolongan Khadijah radhiyallahu
‘Anha kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
menghadapi kaumnya. Setiap kali beliau mendengar sesuatu yang tidak
beliau sukai dari kaumnya, beliau menjumpai Khadijah radhiyallahu ‘Anha.
Lalu Khadijah pun menguatkan hati beliau, meringankan beban yang beliau rasakan
dari manusia. Tak hanya itu kebaikan Khadijah radhiyallahu ‘Anha. Dia
berikan apa yang dimiliki kepada suami yang dicintainya. Bahkan ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menampakkan rasa senangnya pada
Zaid bin Haritsah, budak yang berada di bawah kepemilikannya, Khadijah pun
menghibahkan budak itu kepada suaminya. Inilah yang mengantarkan Zaid
memperoleh kemuliaan menjadi salah satu orang yang terdahulu beriman.
Dialah Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘Anha. Kemuliaan itu telah diraihnya semenjak ia masih ada di muka bumi. Tatkala Jibril ‘Alaihis Salam datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, ini dia Khadijah. Dia akan datang membawa bejana berisi makanan atau minuman. Bila ia datang padamu, sampaikanlah salam padanya dari Rabbnya dan dariku, dan sampaikan pula kabar gembira tentang rumah di dalam jannah (surga) dari mutiara yang berlubang, yang tak ada kebisingan di dalamnya, dan tidak pula keletihan.” Tiba pungkasnya masa Khadijah radhiyallahu ‘Anha mendampingi suaminya yang mulia. Khadijah radhiyallahu ‘Anha kembali kepada Rabbnya, tak lama berselang setelah meninggalnya Abu Thalib, paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tahun itu menjadi tahun berduka bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kaum musyrikin pun semakin berani mengganggu beliau sampai akhirnya Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan beliau untuk meninggalkan Makkah menuju negeri hijrah, Madinah, tiga tahun setelah itu.
Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘Anha. Kemuliaannya, kebaikannya dan kesetiaannya senantiasa dikenang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga merebaklah kecemburuan ‘Aisyah radhiyallahu ‘Anha, “Bukankah dia itu hanya seorang wanita tua yang Allah telah mengganti bagimu dengan yang lebih baik darinya?” Perkataan itu membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam marah, “Tidak, demi Allah. Tidaklah Allah mengganti dengan seseorang yang lebih baik darinya. Dia beriman ketika manusia mengkufuriku, dia membenarkan aku ketika manusia mendustakanku, dia memberikan hartanya padaku saat manusia menahan hartanya dariku, dan Allah memberikan aku anak darinya yang tidak diberikan dari selainnya.”
Khadijah bintu
Khuwailid radhiyallahu ‘Anha. Kemuliaan itu telah dijanjikan melalui
lisan mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wanita ahli jannah
yang paling utama adalah Khadijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam, Maryam bintu ‘Imran, dan Asiyah bintu Muzahim istri
Fir’aun.” Semoga Allah ‘Azza wa Jalla meridhainya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
0 komentar :
Posting Komentar